“22
Desember Ibu”
oleh : Sierly A Suhardi.
Pagi sekali
Ayu sudah berada di dalam kelas. Rupanya suasana kelas sudah dipenuhi oleh
sekumpulan siswa yang tidak lain adalah teman sekelasnya. Bergerombol membentuk
kelompok di tempat duduk yang berbeda dan bergosip. Haha, begitulah anak muda.
Tapi ada pembicaraan yang menarik perhatian Ayu yang baru saja datang.
“Eh eh eh,
sebentar lagi hari ibu guys. Kalian udah nyiapin kado buat ibu kalian?” Ucap
Mira teman sekelas Ayu yang paling heboh di kelas.
“Aku ada lah
rencana.” Ucap Aida, teman Ayu yang dirasa paling populer disekolahnya.
Ayu melirik
Mira, “Kapan?”
“22 Desember
ini yu. Senin depan dan kita udah libur sekolaaahh.. Yeeeess.” Kata Mira
menghebohkan suasana yang tadinya lumayan hening.
“Ohh..” Ucap
Ayu bingung.
“Kenapa? Kok
bengong?”
“Aku bingung,
mau ngasih apa buat ibu.” Ucapnya muram.
“Ahhh..
santai aja kali, ke kantin yuk. Kita diskusi disana.” Ajak Mira.
“Tinggal 5
menit udah bel Mir.”
Menarik
tangan Ayu “Bentar doang, udah ayo cepet.”
22 Desember,
hari ibu. Ayu bingung memikirkan apa yang akan dia berikan kepada ibunya
tercinta. Hari ibu kali ini, dia ingin memberikan sesuatu yang berbeda untuk
ibunya. Tapi kan uang tabungannya udah menipis. Ah, kan masih ada hari esok,
pikir Ayu menghibur dirinya sendiri.
“Eh.. ampun
deh, kamu jangan bengong sambil pasang muka melas gitu dong. Ngenes tauk.” Ucap
Mira menggoda.
“Ih, apaan
sih.”
“Masih
mikirin kado buat ibu?”
“Hem.. Kamu
mau ngasih apa?”
Mira
mengangkat bahu. “Masih bingung.. coklat, bunga, kue, dress, kalung berlian,
atau tas branded keluaran terbaru bulan ini yang udah di incar mama.”
Ayu ikut
mengangkat bahu. Tapi dia berpikir, bukan hal sulit untuk Mira membeli kado
untuk ibunya. Dia kan anak orang kaya, tas branded keluaran terbaru yang
harganya bisa jadi uang saku Ayu selama dua bulan itu pun sanggup dibeli dengan
sekali tunjuk.
“Bel tuh, ayo
cepetan balik.”
“Eh, kamu gak
makan yu?”
“Aku udah
sarapan dirumah tadi.”
“Oh.. oke.”
Ucap Mira beranjak dari tempat duduknya.
Sebentar lagi
liburan semester ganjil. Dan pastinya Ayu gak dapet uang saku. Gimana caranya
dia bisa nabung buat ngasih kado ke ibunya? Hal itu masih saja dipikirkannya
sampai dibawa ke dalam kelas. Bahkan dia gak sadar kalau guru Simulasi
Digitalnya yang super killer itu sedang meng-absen.
“Rahayu
Igusti Pangestu.”
“Rahayu.”
“Rahayu
Igusti Pangestu! Yang mana orangnya?” Ucap bu guru sambil membenahi kaca
matanya.
Aida
menggeser siku Ayu “Yuk.”
“Heh? Apa
da?” Ucap Ayu kaget.
“Absen.”
“Eh, Emm..
hadir bu, maaf bu.”
“Oh, kamu.
Kenapa? Ngantuk? Masih pagi kok sudah ngantuk. Sana keluar cuci muka!” Sentak
guru killer.
“Emm.. maaf
bu, permisi.” Ucap Ayu sambil menggaruk kepalanya.
Akhirnya
pelajaran yang dinanti selesainya itupun berakhir. Semua mata melihat wajah Ayu
yang selalu saja muram sejak tadi pagi itu. Mira dan Aida mendekatinya.
“Hahaha..
sial banget kamu yu, harus berurusan sama guru killer itu.” Ucap Mira.
“Iya nih, si
Ayu. Kenapa sih kamu? Sakit? Ada masalah?” Ucap Aida khawatir.
“Hem, apaan
sih. Aku gak apa-apa kali. Cuma agak pusing aja.”
“Pusing mikir
apa? Besok udah libur kali.. Yesss... have fun ya gaes.” Ucap Mira sumringah.
Ayu semakin
bengong.
“Lho, kok?”
“Iya.. liburnya dimajuin 2 hari.” Ucap Aida.
Melirik Aida
“Kenapa?”
“Kurang tau
juga sih, tapi ya gak papa lah.”
“Eh, kalian
jangan kangen aku yaaa.” Ucap Mira super Pe-De.
“Duuhhhh..
biyung, kumat deh.” Celetuk Aida.
Pulang
sekolah, seperti biasa Ayu menunggu angkutan umum yang biasa di tumpanginya
saat berangkat dan pulang sekolah. Hal seperti ini sudah biasa baginya, sejak
sepeninggal ayahnya.
Kehidupan
seperti itu sudah biasa dilalui. Menahan malu, ego, dan gengsi. Dan memang
seperti itulah kehidupan yang harus dilaluinya. Ibunya menjadi tulang punggung
keluarga, bekerja keras menyekolahkannya dengan berdagang nasi uduk setiap
pagi.
Berbeda dengan
anak seusianya, Ayu sudah belajar mandiri dan membantu ibunya. Setiap pagi
disaat kebanyakan remaja lain masih tertidur pulas menarik selimut dia sudah
bangun untuk membantu ibunya. Harus mengatur waktu, dimana setiap paginya harus
menunggu angkutan umum sedangkan kebanyakan remaja lain berangkat dengan
kendaraan pribadi atau di antar orangtuanya. Awalnya Ayu merasa terpuruk dan
sedih. Tapi seiring waktu berlalu, Ayu sudah bisa menerima kehidupannya.
Kuncinya bersabar, bersyukur, ikhlas, dan tawakal. Itu yang selalu diajarkan
oleh ibunya.
“Koran neng?”
Ucap tukang koran sambil menyodorkan korannya.
Mengambil
koran. “Berapa bang?”
“Dua ribu aja
neng.”
“Emm.. ini
bang.” Sambil menyodorkan uang dua ribuan.
Dibacanya
koran yang dibelinya itu, matanya tertuju pada halaman kolom iklan lowongan
pekerjaan. Dikeluarkannya spidol merah di tasnya, kemudian dilingkarinya
lowongan pekerjaan yang di minatinya.
Ayu
melangkahkan kakinya dengan bersemangat menuju rumahnya. “Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam.”
Ucap Ibunya.
Tapi sore itu
Ayu hanya memperlihatkan senyum yang terperangah dari wajah manisnya, Ibunya
jadi heran apa yang terjadi pada anak satu-satunya itu.
“Kenapa dek?
Kok senyam-senyum sendiri gitu?” Ucap ibunya sambil meletakkan ayakan beras.
Ayu hanya ber
haha hehe cekikikan gak jelas. Semakin membuat ibunya heran saja.
“Gak
kenapa-kenapa kok buk, Ayu mandi dulu ya.” Ucap Ayu seraya meletakkan sepatunya
di rak dan meraih handuk.
Setiap malam
Ayu pasti selalu belajar, hemm.. kalau tidak ibunya bisa ceramah tiada henti,
hehe.. Tapi Ayu tau, ibunya sangat sayang kepadanya. Dan ingin Ayu menjadi
seseorang yang sukses kelak. Agar tak lagi hidup susah. Diraihnya koran yang
dibelinya sewaktu di bis kemudian dibukanya halaman lowongan pekerjaan tadi.
“Aduh..
telpon, enggak, telpon, enggak. Ah.. telpon aja deh, demi 22 Desember yu.
Semangatt.” Ucap Ayu memberi semangat untuknya sendiri.
Tuuuuttt..
Tuuuuutttt.. Tuuuuttt... “Halo, ada yang bisa dibantu?”
“Emm.. maaf
bu, apa lowongan kerja di tempat ibu masih dibuka?”
“Aduh, maaf
sekali dek.. sudah ada yang ngisi.”
“Oh, iya bu.
Terimakasih.”
Wajah Ayu
sudah mulai muram, dia tidak yakin bisa mendapat pekerjaan sampingan. Tapi Ayu
belum menyerah, di raihnya handphone di mejanya. Kali ini panggilan keduanya.
“Selamat
malam.”
“Malam, ada
yang bisa dibantu?”
“Maaf apakah
lowongan kerja di tempat bapak masih dibuka?”
“Wah, sudah
ada yang mengisi dek. Baru saja, sekitar 5 menit-an”
“Oh, baiklah
pak. Terimakasih sebelumnya.”
Panggilan
keduanya pun gagal. Kali ini dia meyakinkan diri, dan berdo’a. Diraihnya
kembali handphone miliknya itu.
“Selamat
malam, permisi.. apakah lowongan kerja di tempat anda masih ada?”
“Malam, oh
iya.. kebetulan sekali, saya sudah menunggu. Masih, masih, masih ada
lowongannya.”
“Alhamdulillah,
saya berniat melamar kerja di tempat ibu.”
“Oh.. tentu,
besok datang saja jam 8. Nanti kita diskusikan mengenai pekerjaan kamu, dan
juga gaji yang kamu terima.”
“Iya bu,
terimakasih. Saya pasti tepat waktu. Emm.. tapi saya hanya bisa bekerja
disela-sela liburan sekolah ini saja bu.”
“Ya, kita
diskusikan saja besok.”
“Baik bu,
sekali lagi terimakasih.”
Kemuraman di
wajah Ayu sirna sudah. Dia berniat untuk tidur lebih awal supaya besok bisa
bersiap-siap berangkat lebih pagi dari waktu yang sudah ditentukan. Tapi
sebelum tidur dia harus mempersiapkan peralatan untuk berjualan ibunya besok.
Pagi pun
tiba, Ayu dengan semangat bergegas berangkat. Di tulisnya alamat tempatnya akan
bekerja itu di selembar kertas. Di perempatan lampu merah dia turun dari bis.
Dicarinya alamat itu, hem.. bener apa kata pepatah. Malu bertanya sesat di
jalan. Jadi sebelum Ayu tersesat dia bertanya kepada tukang ojek di dekat gang
kecil.
“Permisi
bang, tau alamat ini?” Ucap Ayu sambil menyodorkan kertas yang berisi alamat
tadi.
“Oh, ini
neng.. saya tau tempatnya. Pabrik gula terbesar disini kan? Cuman lumayan jauh
dari sini. Mau saya anter?”
“Wah, gak
usah bang. Saya jalan kaki aja, bisa kasih tau saya jalannya?”
“Bener nih,
yasudahlah. Kan dari sini lurus, terus nanti ada belokan ke kiri..”
Dan ber blah
blah blah lah si abang tukang ojek tadi menunjukkan jalan yang harus ditempuh
Ayu.
Mengangguk.
“Makasih bang.”
Ayu mengikuti
jalan yang tadi diberitahukan padanya. Dan berdirilah dia di depan alamat yang
dicarinya tadi.
“Ini dia!
Huhh.. alhamdulillah, akhirnya ketemu juga.” Ucap Ayu.
“Permisi
neng, ada yang bisa dibantu?” Tanya satpam yang berjaga.
“Maaf pak, bu
Isni nya ada?”
“Oh, mau
ketemu bu Isni. Ada.. mari saya antar.”
Ayu pun
mengikuti satpam yang mengantarnya pada bu Isni, calon atasannya.
“Permisi bu,
ada yang mau bertemu.” Ucap pak Satpam.
“Ah iya, ini
pasti Rahayu kan, pegawai baru?”
Melirik Ayu,
“Oh.. pegawai baru.” Ucap pak satpam.
“Iya bu, saya
Rahayu.”
“Ya sudah,
pak Tarjo bisa balik lagi ke tempat.” Ucap bu Isni.
“Baik bu.”
“Terimakasih
pak.” Ucap Ayu.
Hari pertama
Ayu diberi pengarahan tentang apa saja yang harus di pelajari dan di
kerjakannya. Dan waktu luangnya diisi dengan bekerja. Ibu Ayu tidak tau tentang
kegiatan yang dilakukan Ayu selama liburan. Yang ibunya tau, Ayu belajar bersama
teman-temannya. Ayu sengaja tidak memberitahu ibunya, karena selain ingin
memberikan kejutan kepada ibunya, Ayu juga tidak ingin jika ibunya tau maka dia
tidak diperbolehkan bekerja mengingat usianya yang masih 16 tahun.
Sore ini Ayu
merasa sangat lelah. Tapi Ayu senang dapat menyelesaikan pekerjaannya lebih
cepat dari waktu yang diperkirakan.
“Ayu, ikut ke
ruangan saya sebentar.” Ucap bu Isni.
Ayu hanya
menundukkan kepala sambil tersenyum sopan, kemudian mengikuti perintah
atasannya itu.
Menarik
ganggang pintu “Permisi.”
“Ya, silahkan
masuk.”
“Maaf bu, ada
apa ya saya dipanggil? Emm... Apa saya membuat kesalahan?” Ucap Ayu sambil
terbata-bata karena khawatir.
“Oh, ndak.
Saya memanggil kamu karena ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan.”
Lega.
“Huh, syukurlah..
diskusi mengenai apa bu?”
“Waktu di
telepon kemarin kamu sempat bilang kalau kamu hanya dapat bekerja sampai masa
liburanmu habis kan?”
“Benar bu,
saya melamar untuk bekerja agar mendapat penghasilan untuk membeli hadiah buat
ibu saya 22 Desember ini.” Ucap Ayu.
“Hari Ibu?”
“Iya bu.”
Ucap Ayu sambil mengangguk.
“Masa liburanmu berapa bulan?”
“Ah ibu ini,
sebulan juga tidak ada. Sekitar dua mingguan bu.”
“Ohh.. begitu
rupanya, baiklah.. mengingat hari pertama bekerja kamu sudah melakukan apa yang
saya perintahkan dengan baik dan juga untuk membantu kamu membelikan ibumu
hadiah, saya tetap mempertahankan kamu untuk bekerja disini.” Ucap bu Isni.
“Ah..
Alhamdulillah. Terimakasih bu, semoga Allah membalas kebaikan ibu.” Ucap Ayu
bersyukur.
“Mengenai
gaji, tidak perlu kamu pikirkan. Yang saya minta, tolong bekerjalah dengan
giat. Jangan hanya rajin dan gesit di awal saja.”
“Tentu bu.
Saya akan bekerja lebih rajin dan lebih giat lagi.”
“Baiklah,
jangan kecewakan saya.”
“Siap bu,
saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ibu berikan kepada saya.”
Ucap Ayu bersemangat.
Melihat
semangat yang membara dari Ayu, bu Ismi pun ikut senang. Pekerjaan yang
dilakukan Ayu lumayan melelahkan. Dia harus menghitung setiap pemasukan dan
pengeluaran kantor. Belum lagi dia harus mencatat dan terjun langsung ke pabrik
untuk meneliti dan menghitung banyak gula yang siap dipasarkan.
Setiap
harinya Ayu harus bertemu dengan banyak pegawai lain di pabrik. Untung saja Ayu
mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Karena sikapnya yang ramah,
murah senyum dan tidak sombong. Bahkan Ayu sangat akrab dengan pak Satpam yang
sudah 15 tahun bekerja di pabrik gula itu, dan yang membantunya saat pertama
bekerja.
Tak dirasa,
waktu bekerja Ayu tinggal hari ini. Rasa sedih juga bahagia menghampirinya. Ayu
bahagia, karena sebentar lagi dia bisa membelikan hadiah untuk ibunya 22
Desember nanti. Tapi dia juga bersedih, karena harus meninggalkan pekerjaan dan
juga para pegawai yang sudah seperti keluarga baginya. Walaupun dia bekerja
dalam waktu yang singkat. Dan kini tiba saat baginya untuk berpamitan.
“Terimakasih
buat bu Isni, yang sudah memberikan saya kesempatan bekerja, terimakasih buat
pak Tarjo yang sudah saya anggap seperti ayah saya sendiri, buat teman-teman
pegawai yang lain. Saya berniat untuk berpamitan, karena waktu saya disini
sudah selesai.” Ucap Ayu berkaca-kaca.
“Sama-sama
yu, saya salut sama kamu. Masih muda, punya semangat yang luar biasa, ingin
membahagiakan ibu kamu, juga bekerja dengan gesit dan rapi.” Ucap bu Isni.
“Iya neng,
pak Tarjo jadi sedih. Nanti siapa yang bisa pak Tarjo mintai pendapat soal anak
bapak. Siapa yang nemenin bapak main catur lagi.”
“Haha, Ah..
pak Tarjo ini. Hem, bapak kan bisa main kerumah saya. Atau nanti saya yang
main-main kerumah pak Tarjo, atau kesini kalau masih diperbolehkan.” Ucap Ayu.
“Tentu boleh
lah Rahayu sayang, sering-sering main kesini. Bantu-bantu saya juga gak
apa-apa.” Ucap bu Isni menggoda.
“Terimakasih
semuanya.” Ucap Ayu sedikit terisak.
Mengeluarkan
amplop dari dompet. “Oh iya, ini gaji kamu selama bekerja disini. Mungkin hanya
ini yang dapat saya berikan. Belikan hadiah yang terbaik buat ibu kamu ya. Juga
sampaikan salam saya.” Ucap bu Isni.
“Terimakasih
bu, sekali lagi terimakasih semua. Ayu permisi, Assalamu’alaikum.” Ucap Ayu
seraya berbalik meninggalkan kantornya.
Hasil jerih
payah Ayu sudah ada di tangannya. Hasil kerja kerasnya selama liburan, dan
hasil kerjanya itu digunakannya untuk membelikan ibunya kalung emas, juga
beberapa pakaian untuk ibunya. Mengingat bahwa selama ini ibunya berpenampilan
dengan pakaian yang agak lusuh, karena demi mengutamakan kebahagiaan Ayu.
Akhirnya,
hari yang dinantipun tiba. 22 Desember, hari Ibu se-dunia. Ayu menghampiri
ibunya yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya. Ibunya terlihat sangat lelah
dan mengantuk. Beliau memang jarang sekali mendapatkan istirahat yang cukup.
“Buk.”
Panggil Ayu.
“Apa dek? Ibu
capek banget hari ini.”
Diraihnya
kaki ibunya, kemudian diletakkannya di atas paha Ayu. Ayu mulai memijat kaki ibunya.
Matanya berkaca-kaca melihat ibunya yang begitu kelelahan. Tapi senyum selalu
tersirat di wajah tuanya itu.
“Buk, maafin
Ayu ya. Ayu belum bisa bantuin ibuk.”
“Kamu ini
ngomong apa to dek, tugas kamu itu belajar yang pinter. Kejar cita-cita kamu,
supaya kelak jadi anak yang sukses.” Ucap Ibunya.
Dikeluarkannya
bingkisan kado dari tasnya.
“Buk, Selamat
hari ibu.. Ayu punya kado buat ibu.” Ucap Ayu sambil mengulurkan bingkisan kado
dari tangannya.
“Apa ini
dek?”
“Buka aja
dulu buk.”
Dibukanya
kado dari Ayu oleh ibunya. “Kalung Emas? Kamu dapet uang darimana dek?”
“Emm.. itu
Ayu beli pake uang yang halal kok buk, ibu gak perlu khawatir.”
“Iya, tapi
kamu dapet uang darimana?”
“Sebenernya
Ayu bekerja buk, selama liburan ini.”
“Kerja apa
sayang? Ya Allah, ibu gak pengen anak ibuk ini jadi terbebani.”
“Ayu gak
merasa terbebani kok buk, justru Ayu bahagia kalau ibu bahagia. Ayu pengen
bahagiain ibuk.” Ucap Ayu.
“Ibu ini
sudah bahagia sayang, ibu bahagia punya anak gadis yang cantik, pintar, baik
hati. Ibu bahagia punya Ayu, anak ibu.” Ucap ibunya berkaca-kaca.
Memeluk
ibunya. “Ibuk.. Ayuk sayang sama ibu. Makasih buk, udah jadi ibu terhebat
selama ini buat Ayu.”
“Iya sayang,
sama-sama sayang.. ibu juga berterimakasih buat kadonya.”
Sekian ^_^ Terimakasih telah membaca ;))
0 komentar:
Posting Komentar