Senin, 02 Februari 2015

“Salamku Pada Hujan”



Oleh : Sierly A Suhardi
 
Pagi memang telah nampak, tetapi hujan dan mendung menghalangi mentari menampakkan sinarnya untuk bumi. Segelas teh panas yang di diamkan sejenak dan roti tawar dengan selai nanas menemani Fatma yang melihat keluar derasnya hujan sembari memikirkan kekasihnya yang kini jauh darinya, bukan karena sikap dan yang lainnya, tapi JARAK.
Hash.. dingin sekali, pikirnya. Dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebuah jaket pemberian pacarnya sebagai kenangan sebelum mereka berpisah serta selimut dari kamarnya. Dibalutkannya jaket dan selimut tadi di tubuhnya.
Diraihnya handphone milikknya dari meja, satu pesan baru diterima.
Dari : My sayang:* 17/01/2015 03:27
Sayang.. :’( {}
Pesan dari jam tiga lebih dua puluh tujuh menit. Dan tepatnya pada saat itu Fatma masih tertidur pulas ditemani boneka doraemon pemberian kekasihnya bersamaan dengan jaket sebelum mereka berpisah jarak.
“Ahh.. Begooo !!” Ucap Fatma sambil memukul kepalanya.
Fatma tidak menyadari bahwa ibu dan neneknya mengamati kelakuan Fatma sejak tadi.
“Apa nduk?” Ucap ibunya.
Linglung “Heh? Ga apa-apa kok bu.. Hehe.” Meringis.
“Ndak dapet sms dari pacarnya paling.” Ucap Neneknya.
“Hemh.. nenek, orang aku lupa ga ngerjain PR kemarin kok.” Ucap Fatma.
Dalam hatinya ada sedikit perasaan bersalah karena tidak berkata jujur kepada Ibu dan neneknya. Pemikiran itu juga diperkeruh dengan rasa bersalahnya karena baru membuka pesan dari kekasihnya Adi yang diterimanya 3 jam sebelumnya. Oh God ! ada apa? Fatma jadi merasa bersalah karena dia tau bahwa mungkin saya kekasihnya sedang membutuhkan dia, apalagi kondisi Adi kini sedang sakit dan jarang ada komunikasi.
Dibalasnya pesan dari kekasihnya itu. Dengan rasa khawatir dan was-was yang mendalam dia mulai mengetik beberapa kata dan mengirimnya pada kekasihnya. Ternyata firasatnya benar. Adi sedang dalam kondisi yang tidak baik. Pemikirannya mulai kacau. Tapi Fatma berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas.
Menyadarkan Fatma dari lamunannya. “Bantu ibu masak ya nduk?” Ucap Ibunya.
Mengangguk “He’em bu, mau masak apa hari ini? Biar Fatma aja yang masak.” Ucap Fatma.
“Ibu lagi pengen makan sayur bening sama ikan panggang balado nduk, bahannya udah ada di dapur. Tinggal diolah.”
“Siaaappp madam! Hehe.” Ucap Fatma.
Meskipun banyak hal yang dipikirkan Fatma, tapi dia tidak ingin menampakkan kesedihan dan kesulitannya kepada orang lain. Fatma lebih senang berbagi dengan Allah ketika dia usai shalat dan berdo’a. Tak ingin membuat orang yang disayanginya ikut pula merasakan kesedihan dan kesusahan yang dialaminya. Anak yang pemendam bukan? Tapi baginya itu yang terbaik.
Fatma mulai menunjukkan keahliannya dalam memasak. Tentu saja Fatma ahli dalam bidang ini, hemm.. aku emang calon ibu rumah tangga yang baik.. haha, pikir Fatma. Benar saja, tak butuh waktu yang lama masakan Fatma sudah siap untuk dimakan.
“Udah selesai buk, ibu bisa sarapan dulu. Apa mau Fatma yang ambilin nasi?” Ucap Fatma.
“He’em nduk, dikit aja ya.”
“Walah buk, kok cuma dikit tha.. kan ibu baru aja sembuh. Harus makan yang teratur sama minum obatnya.”
“Ibu ndak nafsu makan nduk.”
“Hemh.. Fatma gak mau tau, pokoknya ini nasinya harus di habisin. Ini juga gak banyak-banyak banget.”
“Iya-iya, walah.. anak ibu ini sekarang cerewet banget.” Ucap ibu menggoda.
“Alah, ibu ini lho.. Emm, mau Fatma bikinin teh anget buk? Apa minum susu aja?”
“Bikinin susu aja lah nduk.”
“Siap madam! Bentar ya, itu maemnya dihabisin pokoknya. Nanti Fatma ambilin obatnya sekalian.” Ucap Fatma pada ibunya.
Begitulah Fatma, dia sangat sayang kepada ibunya. Tak heran, karena hanya ibunya lah orang tua yang tersisa. Semenjak kepergian Ayahnya, Fatma hanya hidup dengan Ibu dan neneknya. Dia sudah lumayan lama kehilangan kasih sayang seorang Ayah. Tak jarang Fatma merindukan bagaimana rasanya disayang Ayah, diperhatikan Ayah dan yang lainnya seperti teman-temannya yang lain. Sungguh itu amat dirindukannya.
“Ini buk, diminum ya.” Ucap Fatma sambil membawa segelas susu hangat pesanan ibunya dan beberapa obat milik ibunya.
Ibu hanya mengangguk.
Tak lama mereka duduk bersama tiba-tiba ibu memulai percakapan, kali ini hal serius sedang mereka bicarakan,
“Nduk, minggu depan ibu pergi pelatihan ke Pekanbaru.” Ucap Ibu
“Minggu depan? Kok mendadak banget buk?”
“Lha kan prosesnya sudah lama nduk, ibu nunggu sudah 2 bulan tha?”
Fatma hanya mengangguk, mencoba tidak terlihat begitu sedih di hadapan ibunya. Haruskah? Jerit Fatma dalam hati. Minggu depan ibunya pergi pelatihan untuk tenaga kerja ke luar negeri di Pekanbaru. Memang, hal itu harus dilakukan ibunya mengingat begitu banyak biaya yang diperlukan untuk sekolah Fatma, apalagi sebentar lagi Fatma sudah ujian, tentunya akan lebih banyak lagi pengeluaran untuk itu. Belum lagi biaya SPP yang sudah nunggak hampir 2 tahun. Ahhh.. semua itu terasa berat bagi Fatma.
Meski Fatma tidak ingin ibunya pergi, tapi apalah daya. Memang hal tersebut harus dilakukan demi kelangsungan ekonomi keluarga Fatma. Perasaan khawatir dan sedih tentunya dirasakan Fatma, harus berpisah dengan ibunya selama kontrak kerja 2 tahun di negeri tetangga. Apalagi selama ia masih bayi hingga sekarang ibunya lah yang selalu menemani Fatma. Dan semenjak kepergian Ayahnya, bukankah hanya ibunya satu-satunya orang yang paling berarti untuknya.
Seminggu berlalu, musim ini masih musim hujan. Kali ini ia duduk sendiri, di dekat jendela ruang tamu tempat Fatma biasa berkumpul dengan Ibunya. Tapi kali ini ia sudah tak bersama dengan ibunya. Hanya lantunan doa-doa yang bisa Fatma panjatkan. Beharap Tuhan mengabulkan doa-doa Fatma. “Sungguh, aku pasti akan sangat merindukanmu Ibu.” Batin Fatma dalam hati. Semuanya terasa berkecamuk perih. Ingin rasanya ia meneteskan air matanya yang sudah berada di ujung matanya. Ingin ia menangis ditemani seseorang yang mau mendengar semua cerita-ceritanya.
            Fatma memandang keluar, tiba-tiba handphone-nya berdering.
“Hallo, Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam.”
“Mas baik-baik aja kan?”
“Iya sayang, mas baik-baik aja kok. Mas cuma kangen sama adek.”
Tersenyum kecil mendengar ucapan kekasihnya. “Aku juga kangen banget sama mas.”
            Banyak hal yang mereka bicarakan, termasuk tentang kesedihan Fatma yang ditinggal ibunya pergi bekerja. Memang seperti itulah hubungan Fatma dengan kekasihnya, terkadang Fatma merasa sangat jauh dan sangat merindukan kekasihnya. Tapi ketika mendengar suara kekasihnya itu, jarak dirasa tak berarti lagi. Adi sudah menjadi sebagian semangat hidup bagi Fatma, ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja. Berharap Tuhan selalu melindungi, menjaga, menyayangi orang-orang terkasihnya yang jauh darinya.
“Sayang yang sabar ya, berdoa aja buat ibuk ya. Semoga ibuk baik-baik aja, dan selalu diberi perlindungan oleh Allah. Mas selalu buat adek kok, mas selalu support adek dari belakang, jangan sedih lagi ya sayangku. Mas ga mau liat sayang sedih. Mas sayang banget sama sayangku.” Ucap Adi lewat percakapan dari telepon itu.
“He’em mas, makasih ya mas. Aku sayaaang banget sama mas.”
            Fatma menengok ke luar jendela rumahnya. Hujan deras mengguyur tanah. Fatma menyampaikan salamnya untuk orang-orang terkasihnya pada hujan, sembari berdoa agar semuanya lancar semuanya baik-baik saja, dan semuanya dilindungi Tuhan. :)
“Aku sayang papa, sayang mama, sayang mas Adi. HUJAN sampaikan salamku pada mereka, orang terkasihku.” Batin Fatma.

0 komentar:

Posting Komentar