Oleh : Sierly A Suhardi
Pagi
memang telah nampak, tetapi hujan dan mendung menghalangi mentari menampakkan
sinarnya untuk bumi. Segelas teh panas yang di diamkan sejenak dan roti tawar
dengan selai nanas menemani Fatma yang melihat keluar derasnya hujan sembari
memikirkan kekasihnya yang kini jauh darinya, bukan karena sikap dan yang
lainnya, tapi JARAK.
Hash..
dingin sekali, pikirnya. Dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sebuah
jaket pemberian pacarnya sebagai kenangan sebelum mereka berpisah serta selimut
dari kamarnya. Dibalutkannya jaket dan selimut tadi di tubuhnya.
Diraihnya handphone
milikknya dari meja, satu pesan baru diterima.
Dari : My
sayang:* 17/01/2015 03:27
Sayang.. :’(
{}
Pesan
dari jam tiga lebih dua puluh tujuh menit. Dan tepatnya pada saat itu Fatma
masih tertidur pulas ditemani boneka doraemon pemberian kekasihnya bersamaan
dengan jaket sebelum mereka berpisah jarak.
“Ahh.. Begooo
!!” Ucap Fatma sambil memukul kepalanya.
Fatma tidak
menyadari bahwa ibu dan neneknya mengamati kelakuan Fatma sejak tadi.
“Apa nduk?”
Ucap ibunya.
Linglung
“Heh? Ga apa-apa kok bu.. Hehe.” Meringis.
“Ndak dapet
sms dari pacarnya paling.” Ucap Neneknya.
“Hemh.. nenek,
orang aku lupa ga ngerjain PR kemarin kok.” Ucap Fatma.
Dalam
hatinya ada sedikit perasaan bersalah karena tidak berkata jujur kepada Ibu dan
neneknya. Pemikiran itu juga diperkeruh dengan rasa bersalahnya karena baru
membuka pesan dari kekasihnya Adi yang diterimanya 3 jam sebelumnya. Oh God !
ada apa? Fatma jadi merasa bersalah karena dia tau bahwa mungkin saya
kekasihnya sedang membutuhkan dia, apalagi kondisi Adi kini sedang sakit dan
jarang ada komunikasi.
Dibalasnya
pesan dari kekasihnya itu. Dengan rasa khawatir dan was-was yang mendalam dia
mulai mengetik beberapa kata dan mengirimnya pada kekasihnya. Ternyata firasatnya
benar. Adi sedang dalam kondisi yang tidak baik. Pemikirannya mulai kacau. Tapi
Fatma berusaha untuk tetap sabar dan ikhlas.
Menyadarkan
Fatma dari lamunannya. “Bantu ibu masak ya nduk?” Ucap Ibunya.
Mengangguk
“He’em bu, mau masak apa hari ini? Biar Fatma aja yang masak.” Ucap Fatma.
“Ibu lagi
pengen makan sayur bening sama ikan panggang balado nduk, bahannya udah ada di
dapur. Tinggal diolah.”
“Siaaappp
madam! Hehe.” Ucap Fatma.
Meskipun
banyak hal yang dipikirkan Fatma, tapi dia tidak ingin menampakkan kesedihan
dan kesulitannya kepada orang lain. Fatma lebih senang berbagi dengan Allah
ketika dia usai shalat dan berdo’a. Tak ingin membuat orang yang disayanginya
ikut pula merasakan kesedihan dan kesusahan yang dialaminya. Anak yang pemendam
bukan? Tapi baginya itu yang terbaik.
Fatma
mulai menunjukkan keahliannya dalam memasak. Tentu saja Fatma ahli dalam bidang
ini, hemm.. aku emang calon ibu rumah tangga yang baik.. haha, pikir Fatma.
Benar saja, tak butuh waktu yang lama masakan Fatma sudah siap untuk dimakan.
“Udah selesai
buk, ibu bisa sarapan dulu. Apa mau Fatma yang ambilin nasi?” Ucap Fatma.
“He’em nduk,
dikit aja ya.”
“Walah buk,
kok cuma dikit tha.. kan ibu baru aja sembuh. Harus makan yang teratur sama
minum obatnya.”
“Ibu ndak
nafsu makan nduk.”
“Hemh.. Fatma
gak mau tau, pokoknya ini nasinya harus di habisin. Ini juga gak banyak-banyak
banget.”
“Iya-iya,
walah.. anak ibu ini sekarang cerewet banget.” Ucap ibu menggoda.
“Alah, ibu
ini lho.. Emm, mau Fatma bikinin teh anget buk? Apa minum susu aja?”
“Bikinin susu
aja lah nduk.”
“Siap madam!
Bentar ya, itu maemnya dihabisin pokoknya. Nanti Fatma ambilin obatnya
sekalian.” Ucap Fatma pada ibunya.
Begitulah
Fatma, dia sangat sayang kepada ibunya. Tak heran, karena hanya ibunya lah
orang tua yang tersisa. Semenjak kepergian Ayahnya, Fatma hanya hidup dengan
Ibu dan neneknya. Dia sudah lumayan lama kehilangan kasih sayang seorang Ayah.
Tak jarang Fatma merindukan bagaimana rasanya disayang Ayah, diperhatikan Ayah
dan yang lainnya seperti teman-temannya yang lain. Sungguh itu amat
dirindukannya.
“Ini buk,
diminum ya.” Ucap Fatma sambil membawa segelas susu hangat pesanan ibunya dan
beberapa obat milik ibunya.
Ibu hanya mengangguk.
Tak lama
mereka duduk bersama tiba-tiba ibu memulai percakapan, kali ini hal serius
sedang mereka bicarakan,
“Nduk, minggu
depan ibu pergi pelatihan ke Pekanbaru.” Ucap Ibu
“Minggu
depan? Kok mendadak banget buk?”
“Lha kan
prosesnya sudah lama nduk, ibu nunggu sudah 2 bulan tha?”
Fatma
hanya mengangguk, mencoba tidak terlihat begitu sedih di hadapan ibunya.
Haruskah? Jerit Fatma dalam hati. Minggu depan ibunya pergi pelatihan untuk
tenaga kerja ke luar negeri di Pekanbaru. Memang, hal itu harus dilakukan
ibunya mengingat begitu banyak biaya yang diperlukan untuk sekolah Fatma,
apalagi sebentar lagi Fatma sudah ujian, tentunya akan lebih banyak lagi
pengeluaran untuk itu. Belum lagi biaya SPP yang sudah nunggak hampir 2 tahun. Ahhh.. semua itu terasa berat bagi Fatma.
Meski
Fatma tidak ingin ibunya pergi, tapi apalah daya. Memang hal tersebut harus
dilakukan demi kelangsungan ekonomi keluarga Fatma. Perasaan khawatir dan sedih
tentunya dirasakan Fatma, harus berpisah dengan ibunya selama kontrak kerja 2
tahun di negeri tetangga. Apalagi selama ia masih bayi hingga sekarang ibunya
lah yang selalu menemani Fatma. Dan semenjak kepergian Ayahnya, bukankah hanya
ibunya satu-satunya orang yang paling berarti untuknya.
Seminggu
berlalu, musim ini masih musim hujan. Kali ini ia duduk sendiri, di dekat
jendela ruang tamu tempat Fatma biasa berkumpul dengan Ibunya. Tapi kali ini ia
sudah tak bersama dengan ibunya. Hanya lantunan doa-doa yang bisa Fatma
panjatkan. Beharap Tuhan mengabulkan doa-doa Fatma. “Sungguh, aku pasti akan
sangat merindukanmu Ibu.” Batin Fatma dalam hati. Semuanya terasa berkecamuk
perih. Ingin rasanya ia meneteskan air matanya yang sudah berada di ujung
matanya. Ingin ia menangis ditemani seseorang yang mau mendengar semua
cerita-ceritanya.
Fatma memandang keluar, tiba-tiba handphone-nya berdering.
“Hallo,
Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam.”
“Mas
baik-baik aja kan?”
“Iya sayang,
mas baik-baik aja kok. Mas cuma kangen sama adek.”
Tersenyum
kecil mendengar ucapan kekasihnya. “Aku juga kangen banget sama mas.”
Banyak hal yang mereka bicarakan,
termasuk tentang kesedihan Fatma yang ditinggal ibunya pergi bekerja. Memang
seperti itulah hubungan Fatma dengan kekasihnya, terkadang Fatma merasa sangat
jauh dan sangat merindukan kekasihnya. Tapi ketika mendengar suara kekasihnya
itu, jarak dirasa tak berarti lagi. Adi sudah menjadi sebagian semangat hidup
bagi Fatma, ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja. Berharap Tuhan
selalu melindungi, menjaga, menyayangi orang-orang terkasihnya yang jauh
darinya.
“Sayang yang
sabar ya, berdoa aja buat ibuk ya. Semoga ibuk baik-baik aja, dan selalu diberi
perlindungan oleh Allah. Mas selalu buat adek kok, mas selalu support adek dari
belakang, jangan sedih lagi ya sayangku. Mas ga mau liat sayang sedih. Mas
sayang banget sama sayangku.” Ucap Adi lewat percakapan dari telepon itu.
“He’em mas,
makasih ya mas. Aku sayaaang banget sama mas.”
Fatma menengok ke luar jendela
rumahnya. Hujan deras mengguyur tanah. Fatma menyampaikan salamnya untuk orang-orang
terkasihnya pada hujan, sembari berdoa agar semuanya lancar semuanya baik-baik
saja, dan semuanya dilindungi Tuhan. :)
“Aku
sayang papa, sayang mama, sayang mas Adi. HUJAN sampaikan salamku pada mereka,
orang terkasihku.” Batin Fatma.
0 komentar:
Posting Komentar